Senin, 25 Juni 2012

Mengenal Jargon dan Menghindarinya

#Tips Menulis
disadur dari @fgaban

Kesederhanaan adalah salah satu kunci dalam menulis. Tulisan di media massa, atau blog, sebaiknya disajikan sederhana, melalui kosakata sehari-hari yang mudah dipahami. Kelirulah anggapan bahwa tulisan yang bagus adalah tulisan bertabur istilah rumit, abstrak dan asing (Inggris khususnya).

Tujuan menulis di media massa adalah membantu pembaca memahami soal yang ditulis. Bukan memamerkan kepintaran penulis. Namun, kini ada kecenderungan besar artikel dan berita di media massa ditulis dengan bahasa yang kian sulit dipahami.Contoh jargon 1: Korban luka tabrakan sepeda motor sudah dievakuasi; 2: Infrastruktur transportasi di Kalimantan terdegradasi; 3: Semarang banjir, kegiatan belajar-mengajar dihentikan; 4: Polisi menangkap tersangka pelaku curat dan curas. Contoh-contoh tadi mengandung jargon dan kata-kata abstrak yang sulit dipahami orang awam. Apa sebenarnya jargon itu?

Jargon adalah istilah khusus yang diciptakan dan dipakai dalam bidang keilmuan, profesi, kegiatan atau kelompok tertentu. Tiap profesi dan bidang keilmuan memiliki jargon sendiri yang hanya dipahami pelaku profesi dan pengkaji ilmu bersangkutan.

Istilah/jargon kedokteran atau ekonomi dipahami dokter atau ekonom, tapi belum tentu dipahami akuntan atau pengacara. Tiap lembaga/kementrian pemerintah juga memiliki jargon sendiri-sendiri. Dan hampir tiap hari mereka memproduksi jargon. Lembaga dan kementrian memproduksi jargon, baik dalam bentuk istilah-istilah baru maupun akronim/singkatan baru.

“KLB atau Kejadian Luar Biasa” adalah istilah yang hanya dipahami birokrat Kementrian Kesehatan dan para dokter.  “Peserta didik” dan “kegiatan belajar-mengajar” adalah istilah yang dipopulerkan Kementrian Pendidikan. Curat itu istilah kepolisian; akronim dari “pencurian dengan pemberatan”—yg meski telah dipanjangkan tetap tidak jelas. Apa yang dimaksud pencurian dengan pemberatan? Apa pula bedanya dari curas atau “pencurian dengan kekerasan”?

Orang memakai jargon untuk memudahkan komunikasi dalam kelompok atau lingkungan tertentu.Tapi, jargon juga kadang dipakai agar komunikasi dalam kelompok tidak diketahui kelompok lain, misalnya kerahasiaan militer. Jargon juga mengambil kadang bentuk istilah abstrak, kurang spesifik, untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Contoh abstrak: “Si A menuduh Si B orang yang bermasalah” hanya karena Si A tidak tahu persis apakah Si B itu selingkuh.

Jargon juga dipakai untuk melunakkan fakta negatif; eufemisme. “Warga miskin mengkonsumsi (bukan makan) sampah restoran”. Jargon menyebar luas umumnya karena dikutip media begitu saja tanpa dipahami maknanya. Wartawan menulis ulang begitu saja jargon omongan pejabat, polisi, dan ilmuwan, sering tanpa mereka sendiri paham maknanya.

Dari semua alasan tadi, penting untuk mengurangi atau menghilangkan jargon dalam komunikasi publik dan tulisan media massa. Jargon perlu dihindari sebab bahkan profesor sekalipun belum tentu mengerti jargon profesi dan bidang ilmu lain. Jargon atau istilah ilmiah kadang tak bisa dihindari. Tapi, jika itu terpaksa dipakai, tetap harus dijelaskan secara awam.

“Inflasi”, jargon ekonomi, bisa dijelaskan kepada pedagang di pasar dengan “naiknya harga cabe serta ongkos angkutan bajaj”. Cara paling sederhana menghindari jargon adalah membayangkan Anda sedang menulis untuk orang di pasar. Coba amati kosakata sederhana yang dipakai orang di pasar, bahasa yang dipakai sehari-hari.

Orang di pasar lebih paham “korban dibawa ke rumah sakit” ketimbang “korban dievakuasi”. Lebih jelas, lebih spesifik. Orang di pasar lebih paham “jalan dan jembatan rusak berat”, bukannya “infrastruktur transportasi terdegradasi”. Orang di pasar lebih paham “perampok dan penjambret” ketimbang “pelaku curas dan curat”. Orang di pasar tidak mengatakan “perut saya mulas pasca makan rujak”, tapi “setelah saya makan rujak”.

Sekali lagi, kesederhanaan itu kunci dalam menulis. Menulis dengan bahasa sederhana, membantu dan berempati kepada pembaca.#