Senin, 25 Juni 2012

Mengenal Jargon dan Menghindarinya

#Tips Menulis
disadur dari @fgaban

Kesederhanaan adalah salah satu kunci dalam menulis. Tulisan di media massa, atau blog, sebaiknya disajikan sederhana, melalui kosakata sehari-hari yang mudah dipahami. Kelirulah anggapan bahwa tulisan yang bagus adalah tulisan bertabur istilah rumit, abstrak dan asing (Inggris khususnya).

Tujuan menulis di media massa adalah membantu pembaca memahami soal yang ditulis. Bukan memamerkan kepintaran penulis. Namun, kini ada kecenderungan besar artikel dan berita di media massa ditulis dengan bahasa yang kian sulit dipahami.Contoh jargon 1: Korban luka tabrakan sepeda motor sudah dievakuasi; 2: Infrastruktur transportasi di Kalimantan terdegradasi; 3: Semarang banjir, kegiatan belajar-mengajar dihentikan; 4: Polisi menangkap tersangka pelaku curat dan curas. Contoh-contoh tadi mengandung jargon dan kata-kata abstrak yang sulit dipahami orang awam. Apa sebenarnya jargon itu?

Jargon adalah istilah khusus yang diciptakan dan dipakai dalam bidang keilmuan, profesi, kegiatan atau kelompok tertentu. Tiap profesi dan bidang keilmuan memiliki jargon sendiri yang hanya dipahami pelaku profesi dan pengkaji ilmu bersangkutan.

Istilah/jargon kedokteran atau ekonomi dipahami dokter atau ekonom, tapi belum tentu dipahami akuntan atau pengacara. Tiap lembaga/kementrian pemerintah juga memiliki jargon sendiri-sendiri. Dan hampir tiap hari mereka memproduksi jargon. Lembaga dan kementrian memproduksi jargon, baik dalam bentuk istilah-istilah baru maupun akronim/singkatan baru.

“KLB atau Kejadian Luar Biasa” adalah istilah yang hanya dipahami birokrat Kementrian Kesehatan dan para dokter.  “Peserta didik” dan “kegiatan belajar-mengajar” adalah istilah yang dipopulerkan Kementrian Pendidikan. Curat itu istilah kepolisian; akronim dari “pencurian dengan pemberatan”—yg meski telah dipanjangkan tetap tidak jelas. Apa yang dimaksud pencurian dengan pemberatan? Apa pula bedanya dari curas atau “pencurian dengan kekerasan”?

Orang memakai jargon untuk memudahkan komunikasi dalam kelompok atau lingkungan tertentu.Tapi, jargon juga kadang dipakai agar komunikasi dalam kelompok tidak diketahui kelompok lain, misalnya kerahasiaan militer. Jargon juga mengambil kadang bentuk istilah abstrak, kurang spesifik, untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Contoh abstrak: “Si A menuduh Si B orang yang bermasalah” hanya karena Si A tidak tahu persis apakah Si B itu selingkuh.

Jargon juga dipakai untuk melunakkan fakta negatif; eufemisme. “Warga miskin mengkonsumsi (bukan makan) sampah restoran”. Jargon menyebar luas umumnya karena dikutip media begitu saja tanpa dipahami maknanya. Wartawan menulis ulang begitu saja jargon omongan pejabat, polisi, dan ilmuwan, sering tanpa mereka sendiri paham maknanya.

Dari semua alasan tadi, penting untuk mengurangi atau menghilangkan jargon dalam komunikasi publik dan tulisan media massa. Jargon perlu dihindari sebab bahkan profesor sekalipun belum tentu mengerti jargon profesi dan bidang ilmu lain. Jargon atau istilah ilmiah kadang tak bisa dihindari. Tapi, jika itu terpaksa dipakai, tetap harus dijelaskan secara awam.

“Inflasi”, jargon ekonomi, bisa dijelaskan kepada pedagang di pasar dengan “naiknya harga cabe serta ongkos angkutan bajaj”. Cara paling sederhana menghindari jargon adalah membayangkan Anda sedang menulis untuk orang di pasar. Coba amati kosakata sederhana yang dipakai orang di pasar, bahasa yang dipakai sehari-hari.

Orang di pasar lebih paham “korban dibawa ke rumah sakit” ketimbang “korban dievakuasi”. Lebih jelas, lebih spesifik. Orang di pasar lebih paham “jalan dan jembatan rusak berat”, bukannya “infrastruktur transportasi terdegradasi”. Orang di pasar lebih paham “perampok dan penjambret” ketimbang “pelaku curas dan curat”. Orang di pasar tidak mengatakan “perut saya mulas pasca makan rujak”, tapi “setelah saya makan rujak”.

Sekali lagi, kesederhanaan itu kunci dalam menulis. Menulis dengan bahasa sederhana, membantu dan berempati kepada pembaca.#

Senin, 18 Januari 2010

Mencari Damai Lewat Alam (Refleksi KKN 09)

oleh: Elban Faqih Esa



Pendahuluan

Bagaimana Anda dapat membeli atau menjual langit? Kami tidak memiliki kesegaran udara atau kemilauan air. Maka, bagaimana anda dapat membeli semua itu dari kami? Setiap bagian bumi dianggap keramat oleh suku kami, bersifat suci dalam memori dan pengalaman suku kami. Kami tahu bahwa orang kulit putih tidak memahami jalan kami. Orang kulit putih adalah orang asing yang datang di malam hari dan mengambil dari tanah apapun yang ia butuhkan. Bumi bukanlah teman orang kulit putih, tetapi musuhnya, dan setelah orang kulit putih berhasil menaklukkannya, ia akan bergerak terus. Orang kulit putih menculik bumi dari anak-anaknya. Nafsu orang kulit putih akan mengganyang Bumi dan menjadikannya padang pasir. Jika semua binatang buas menghilang, kami akan mati karena roh kami akan sendirian. Apapun yang terjadi pada binatang buas, akan terjadi juga pada kami. Segalanya berkaitan. Apapun yang menimpa bumi, akan menimpa pula semua anak-anak bumi.

(kutipan jawaban Red Indian, Chief Seatle, terhadap permintaan pemerintah AS untuk dizinkan membeli tanah tradisional milik suku tersebut. 1885)

Peradaban modern yang kapitalistik telah mendorong manusia begitu serakah terhadap lingkungan hidup. Manusia modern terjangkiti oleh penyakit hedonisme yang tidak pernah puas dengan kebutuhan materi. Sebab yang mendasar timbulnya keserakahan terhadap lingkungan ini, karena manusia memahami bahwa sumber daya alam adalah materi yang mesti dieksploitasi untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan materinya yang konsumtif. Pengelolaan lingkungan identik dengan upaya untuk mengoptimalkan sumber daya alam sebagai penyuplai kebutuhan materi semata.Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut J. Barros dan J.M. Johnston erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan, pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-lain. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa minyak bumi dari kapal tanker. Keempat, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga/tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk non-organik.

Dampak dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang amat mencemaskan dan menakutkan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia secara lebih luas dapat berupa, pertama, pemanasan global, telah menjadi isu internasional yang merupakan topik hangat di berbagai negara.Dampak dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim secara global dan kenaikan permukaan laut. Kedua, hujan asam, disebabkan karena sektor industri dan transportasi dalam aktivitasnya menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara yang dapat menghasilkan gas buang ke udara. Gas buang tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Pencemaran udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil mengakibatkan terbentuknya asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut dapat diendapkan oleh hutan, tanaman pertanian, danau dan gedung sehingga dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian organisme hidup Ketiga, lubang ozon, ditemukan sejak tahun 1985 di berbagai tempat di belahan bumi, seperti di Amerika Serikat dan Antartika. Penyebab terjadinya lubang ozon adalah zat kimia semacam kloraflurkarbon (CFC), yang merupakan zat buatan manusia yang sangat berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan AC.

Selain kerusakan alamiah semacam itu, secara sosial juga memiliki pengaruh. Sebagai reaksi dari akibat pembangunan dan industrialisasi yang telah menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan, di seluruh dunia sedang terjadi gerakan yang disebut gerakan ekologi dalam (deep ecology) yang dikumandangkan dan dilakukan oleh banyak aktivis organisasi lingkungan yang berjuang berdasarkan visi untuk menyelematkan lingkungan agar dapat berkelanjutan. Gerakan ini merupakan antitesa dari gerakan lingkungan dangkal (shallow ecology) yang berperilaku eksplotatif terhadap lingkungan dan mengkambinghitamkan agama sebagai penyebab terjadinya kerusakan alam lingkungan. Gerakan ini beranggapan bahwa bumi dengan sumber daya alam adanya untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, kalau manusia ingin sukses dalam membangun peradaban melalui industrialsiasi, bumi harus ditundukkan untuk diambil kekayaannya.

Masalah Ideologi

Kedaan demikian akan terkait pada kata diperkenalkan oleh Destutt de Tracy, seorang pemikir perancis yang pertama kali menggunakan istilah ideologi di dalam bukunya Elements d’ideologie pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Artinya, mencari perdamaian menuntut pemahaman ideologi dan sekaligus kritik atas ideologi yang menjadikan masyarakat buas terhadap alam dan sebagainya. Dalam kerangka umum kita bisa mengambil definisi ideologi dari Microsoft Encarta Encylopedia (2003) yang menawarkan definisi agak komprehensif, yakni suatu sistem kepercayaan yang memuat nilai-nilai dan ide-ide yang diorganisasi secara rapi sebagai basis filsafat, sains program sosial ekonomi politik yang menjadi pandangan hidup, aturan berfikir, merasa, dan bertindak individu atau kelompok.

Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).Dewasa ini yang menjadi praktis dan menguat justru kapitalisme. Berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan porak-porandanya Uni Soviet menempatkan Kapitalisme Amerika melaju menjadi ideologi dunia. Tidak setiap negara memang, tetapi dengan hanya satu-satunya negara Adi Kuasa, ia menjadi rujukan beberapa negara yang ingin berkembang. Sementara Islam—tanpa pretensi untuk membuka perdebatan tentang apakah ia bentuk ideologi atau bukan—sejak hancurnya dinasti Abbasiyah semakin belum lagi memunculkan optimismenya.

Kaptalisme, seperti yang telah dijelaskan di muka, menganggap Individu diatas segalanya serta menganggap masyarakat hanyalah kumpulan individu-individu (individualisme) belaka, menjadikan materi yang di dapat sebagai tolak ukur kebahagiaan dan menekankan setiap individu memiliki kebebasan tidak terbatas, menempatkan ideologi ini menjadi rakus-serakah. Betapa tidak, karena manusia tidak terbatas serta kebahagiaan diukur dari materi yang didapat, maka setiap orang harus memberondong sumber daya alam seperti saat melahap musuh di medan perang. Tentu saja secara ekonomis, pertumbuhan ekonomi dunia meningkat. Hanya saja pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat ternyata malah membuat kebutuhan-kebutuhan dari pada memuaskan manusia. Semua itu terjadi karena manusia saat memproduksi dihadapkan pada batasan-batasan fisik. Hal ini akan terkait dengan alam yang terbatas tetapi terus di eksploitasi.

Cara pandang seperti ini menuntut manusia sedapat mungkin melakukan produksi untuk kepentingan akumulasi modalnya. Dalam kapitalisme manusia, atau lembaga yang kuat adalah dia yang memiliki modal banyak. Agar mendapat modal banyak syaratnya manusia harus bisa menguasai alam. Dengan demikian dengan eksploitasi yang terus-menerus alam akan menemukan titik nadirnya menjadi hancur dan sumber penyakit kehidupan. Di sinilah muncul gerakan yang berusaha mereservasi alam, yaitu gerakan ekologi. Gerakan Ekologi bukan merupakan gerakan para ahli biologi, tetapi gerakan orang-orang yang menganggap bahwa ide ekologi memiliki implikasi sosial dan politik yang besar terhadap cara orang hidup dan berpikir tentang realitas. Ekologi pada arti definitifnya adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Namun karena berkaitan langsung dengan interaksi antara organisme dan lingkungan gerakan ekologi menjadi gerakan sosial yang ingin memperbaiki bumi dari tingkah laku manusia yang menempatinya.

Gerakan Ekologi Sebagai Kritik Atas Kapitalisme

Proses penguasaan alam dimulai dengan perkembangan sains fisik dan pandangan materialistik yang menyertainya, secara perlahan-perlahan mengakibatkan Revolusi Industri. Keadaan ini memberi manusia potensi untuk menghancurkan alam yang belum pernah terjadi, dan setidak-tidaknya di barat. Produksi yang lebih besar, eksploitasi yang lebih besar terhadap sumber daya alam, dan keuntungan yang lebih besar, semua ini menjadi dewa baru dan terus demikian sejak itu. Masyarakat industri telah berkembang dengan penjarahan terhadap alam secara serampangan. Pemulihan atas kerusakan itu pun harus melewati waktu cukup panjang. Orang-orang berharap suatu saat akan muncul sebuah teknologi yang dapat mempermudah semua urusan dan permasalahan kehidupan. Padahal ilmu pengetahuan dan teknologi sesungguhnya telah usai menciptakan temuan utamanya, karena setiap aktifitas produktif bergantung kepada peminjaman atas sumber daya yang terbatas dari planet ini dan pengorganisasian suatu rangkaian pertukaran di dalam sebuah sistem multi-equilibrium yang sesungguhnya rentan.

Pernyataan tersebut semata untuk mengatakan bahwa aktifitas manusia dibatasi oleh alam. Pertumbuhan ekonomi nol persen seperti yang dibayangkan oleh para ekonom modern untuk mensiasati kelangkaan sumber daya alam pada dasarnya hanya sebuah kamuplase, sebab sejatinya bukan tentang konsumsi yang berlebih yang menjadi permasalahan tetapi mengurangi aktifitas produksi yang tidak sesuai kebutuhan. Artinya untuk berbicara masalah ekologi, tidak dapat melupakan Kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang dituduh atau mengawali adanya gerakan ekologi.

Pada paruh abad ke-20 terjadi keresahan dunia pada kemungkinan petaka yang akan menelan umat manusia. Menipisnya ozon, kelebihan penduduk, penipisan sumber alam, kehancuran hutan, musnahnya spesies, peracunan tanah dan laut serta udara mendorong berkembangnya gerakan lingkungan di setiap negara maju. Mereka berasal dari kelompok kiri baru dan tertarik karena radikalisme persoalan ini. Gerakan ekologi ini kemidian sering disebut sebagai gerakan hijau karena ide-ide yang dibangun selalu tentang penghijauan sebagai simbol keutamaan alam dan kedamaian. Orang-orang Kiri Baru adalah orang yang menolak kapitalisme dan sosialisme; curiga pada birokrasi dan organisasi secara berskala luas; berusaha mentransformasi kesadaran modern, dan suka bereksperimen dengan jalan hidup alternatif melalui kelompok-kelompok kecil anarkis (yang didasarkan pada kebersamaan dan tanpa adanya dominasi atau alienasi).

Penolakan mereka mereka terhadap kapitalisme jelas karena akar pemikiran kelompok ini dari Karl Marx. Dimulai dari tulisan-tulisan awal Marx terutama dalam Manuskrip Paris tahun 1844. Marx mencurigai teori-teori yang membatasi manusia secara sosial dan politik, misalnya, teori yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya mementingkan dirinya sendiri, agresif dan kompetitif. Dia percaya bahwa sifat dasar manusia adalah makhluk yang mengekspresikan dirinya melalui pelbagai cara yang berbeda di setiap masa. Artinya manusia memiliki sifat transformatif dalam dirinya yang menjadikannnya menjadi masyarakat sosialis atau komunal. Marx pada dasarnya menyadari tentang adanya keinginan pemenuhan kebutuhan dalam diri manusia seperti halnya dalam pengertian kaum kapitalis. Ia pun percaya fakta masyarakat yang paling mendasar adalah hakikat organisasi ekonominya, yakni cara produksinya. Hal ini mencakup dua hal: pertama, metode produksi (tipe pertanian atau industri), kedua bagaimana produksi terkait dengan masyarakat, yakni siapa yang menajdi pemilik perusahaan dan siapa yang menajdi pekerja. Distribusi kekayaan dan kerja menjadi landasan terciptanya kelas. Pada konteks ini Marx menyatakan karena setiap masyarakat memiliki sistem kelas, maka akan selalu terjadi pemisahan secara fundamental antara mereka yang memiliki alat produksi (kelas penguasa) dan mereka yang menjadi pekerja.

Masalahnya hubungan krusial antara substruktur dan elemen masyarakat akan tampak ketika kelas penguasa merasa butuh untuk mempertahankan kekuasaanya. Serta merta mereka akan mempengaruhi penguasa untuk membuat kebijakan yang dapat mengamankan modal mereka melalui seni, pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian unsur-unsur ini membantu pemilik modal mempertahankan kekuasaannya dan menjadikan hal ini seolah-olah alami, benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Marx sejatinya menunjuk kesadaran masyarakat pekerja yang dikelabui oleh bujuk rayuan kaum kapitalis.
Setelah Federich Engel meninggal, tidak ada lagi seseorang yang dapat menerjemahkan gagasan Marx secara otentik tentang ide dan strateginya. Berawal dari Edward Bernstein, seorang pengikut Marx di Jerman, mengemukakan dunia belum bergerak seperti yag Karl Marx harapkan. Kenyataannya kaum borjuis semakin terus bertambah dan kaum pekerja semakin hidup makmur serta memiliki pengaruh secara politik. Untuk itu seharusnya meninjau kembali, mengubah prediksi dan program kerjanya. Kaum Marx harus menerima doktrin-doktrin ‘sosialisme evolusioner’ yang berbeda dengan sosialisme revolusionernya Karl Marx. Dari pergeseran paradigma ini bergeser pulalah dari penunjukkan Marx atas perubahan kesadaran menjadi gerakan masa politis yang yang terus bergulat dalam peperangan dan tegangan-tegangan kepentingan lainnya.

Perubahan haluan ini mengilhami penafsiran marxisme yang lebih segar, terkadang disebut sebagai neo-marxisme. Mereka kembali kepada tulisan-tulisan awal Karl Marx yang lebih humanistik, yang bergulat dengan alienasi manusia, keterpecahan kehidupan manusia dan perlunya pembebasan. Pemikiran dari kelompok ini dikenal pula sebagai Madzhab Frankfrut. Hadir tokoh-tokoh di sini, seperti, Max Horkheimer, Teodor Adorno dan Herbert Marcus, tida tokoh generasi pertama madzhab ini. Madzhab Frankfrut mementingkan analisis Marx tentang kesadaran dan menuduh Engel dan Lenin serta para pengikutnya telah mendistorsi ide gagasan Marx awal mulanya. Mereka tertarik pada hubungan antara konsep alienasi dengan teori-teori psikologi modern, seperti psikoanalisis. Gaya pemikiran mereka dikenal sebagai ‘teori kritis’ yang mencerminkan aspirasi mereka untuk menciptakan sebuah bentuk analisis Marxis yang mengungkapkan sifat menindas dari masyarakat modern tanpa harus mendasarkan pada analisis kelas dan ekonomi politik. Ide-ide ini beredar secara luas dan banyak digemari oleh kaum muda di Jerman. Bersamaan dengan gerakan-gerakan yang mereka inspirasi, terutama gerakan protes Mahsiswa di Jerman pada tahun 1960, secara kolektif mulai dikenal sebagai kaum Kiri Baru. Dari gerakan dan ide-ide pemikir inilah lahir gagasan perlindungan terhadap alam, ekploitasi dan sebagainya. Dengan demikian gerkan ekologi sebenarnya adalah kritik terhadap paham kapitalisme yang terus gencar menancapkan kuku tajamnya untuk merobek-robek dunia. Ekologi pun pada akhirnya menjadi masalah sosial sekaligus politik yang keluar sebagai akibat dari beberapa pandangan ideologi dunia. Pandangan-pandangan tersebut di atas secara praktis membawa perubahan-perubahan sosial yang tidak akan dapat berhenti. Mungkin, seperti kata Marx memberikan penjelasan untuk merubah kesadaran masyarakat adalah yang terpenting yang dapat dilakukan.

Merefleksi Lingkungan Hidup

Perspektif Hijau bukan hanya seperangkat solusi persoalan lingkungan, melainkan merupakan sebuah teori lengkap kemanusiaan dan kemasyarakatan. Manusia adalah bagian dari alam dan harus hidup harmoni dengan alam, atau menghadapi resiko kehancuran. Alam dan organisme lain yang hidup di dalamnya merupakan satu kesatuan yang menyebabkan kedudukannya terhadap lingkungan stabil sekaligus terikat dan tidak bebas. Artikulasi reflektif untuk mendukung lingkungan hidup adalah dengan menyediakan panduan penting untuk transformasi masa depan. Giddens mengatakan, bagi mereka yang yang mengasosiasikan modernitas dengan kapitalisme dan industrialisme gerakan buruh merupakan gerakan sosial yang sangat penting keberadaannya. Gerakan sosial menyediakan petunjuk bagi kemungkinan masa depan dan sebagian menjadi kendaraan untuk merealisasikan tersebut.

Pertanyaan tentang apakah manusia dalam menciptakan kebudayaan akan semakin menyempurnakan lingkungan atau justru merusak lingkungan? Seperti halnya binatang, walau dalam mengolah alam tidak bisa seperti manusia, ia mempunyai insting untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dan hanya mengambil begitu saja dari alam tanpa melebihi dari kebutuhannya.Manusia pun tidak luput dari kebutuhan ini sekaligus tidak terikat seluruhnya pada kebutuhan ini saja. Seperti halnya lingkungan, manusia bukanlah diberikan oleh alam melinkan harus dibangun dan dikembangkannya sendiri dalam kebudayaan termasuk kebutuhan manusia termasuk sesuatu yang berkembang di dalam dan bersama dengan kebudayaan.

Pada kasus kapitalistik semacam di atas terdapat dugaan dalam membangun lingkungan yang manusiawi dalam kebudayaannya, manusia pada dasarnya berorientasi kepada kepentingan dan kebutuhannya sendiri, dan tidak terutama kepada kepentingan dan kebutuhan alam. Ini juga menunjukkan bahwa perkembangan dan evolusi kebutuhan manusia rupanya jauh lebih cepat dari pada evolusi kesadaran tentang keterbatsan alam. Berarti pengetahuan manusia untuk memanfaatkan alam jauh lebih dulu pengetahuannya dari pada pengetahuannya untuyk melindungi dan menyelamatkan alam.

Hal ini tidak dapat dipungkiri dari metode ilmu pengetahuan Aristotelian dan Cartessian yang berujung pada era modernitas seperti sekarang ini. Aristotalian dengan prosedur kausalitasnya menempatkan manusia sebagai penguasa alam. Pernyataan tentang sebab-akibat yang di dasarkan pada premis-premis yang dibuat sendiri, membuat manusia pada akhirnya dapat berpikir tentang kebutuhan-kebutuhan untuk dirinya sehingga terpenuhi semua kebutuhannya. Sementara Cartessian yang menempatkan alam sebagai dunia ‘diluar dirinya’ menjadikan manusia begitu egosentris. Sedikit sekali dalam hal ini dapat membuat manusia mengerti sesuatu yang di luar dirinya. Jelaslah tidak ada tuntutan tanggung jawab di dalamnya. Akhirnya dua pandangan ini sejatinya mesti digabungkan. Bukan berarti manusia harus tunduk kepada alam, tetapi berlaku solider terhadap alam. Akal dan kebebasan manusia tidak perlu lagi dilihat sebagai alat kebangkitan dan kebebasan manusia dari lingkungan alam, tetapi sebagai kebebasan dan pengertian untuk menjaga alam. Ada hubungan keawajiban pada keduanya, sama-sama ciptaan Penguasa.






DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian,1993. Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya. Yogyakarta : Qalam, 2004

Ensikopedi elektronik online, http://id.wikipedia.org/wiki/Ekologi

Giddens, Anthony, Kosekuensi-Konsekuensi Modernitas (Penerjemah : Nurhadi), Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005

Gorz, Andre, Anarki Kapitalisme, (Yogyakarta: Resist Book, 2005)

Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah Dan Kritik Kebudayaan, Jakarta : LP3S, 1987

Siahaan, dalam Harun Husein, Lingkungan Hidup, Jakarta: Bumi Aksara, 1992


Minggu, 16 Agustus 2009

FITRAH HANIF MANUSIA: PIJAKAN INKLUSIF NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN CAK NUR

Pendahuluan

Dalam perjalanan hidup menuju peradaban dan kebudayaan yang lebih baik, manusia memerlukan kepercayaan yang nantinya tata nilai. Sayangnya, tidak sedikit nilai yang kemudian mengkristal dan membentuk tradisi yang memiliki kecenderungan mempertahankan nilai yang telah ada secara turun-temurun. Konsekuensinya, alih-alih sebagai pendorong peradaban dan kebudayaan an sich, nilai-nilai yang mentradisi justru menjadi penghambat.
Nilai yang dianut kemudian berada dalam posisi dilematis. Ia bersifat produktif sekaligus kontraproduktif dalam roda gila sejarah yang terus berputar. Untuk itu, terkadang kita harus mengorbankan kepercayaan—sebagai dasar pembentuk nilai—dan tetap tetap patuh pada ‘kebenaran’, yang tidak lain adalah Tuhan. Tuhan merupakan kebenaran hakiki karena dalam proses perjalanan sejarah hanya ia yang tidak berubah, ia adalah awal mula dan akhir segala tujuan.
Kurang lebih demikian simalakama ‘kepercayaan’ di mata Nurcholish Madjid (selanjutnya akan disebut Cak Nur) dalam merumuskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (selanjutnya disingkat NDP) Himpunan Mahasiswa Islam. Cinta kebenaran yang harus mengorbankan cinta pad kepercayaan dan tata nilai di atas, mengingatkan kita pada sang filsuf klasik Aristoteles dan gurunya Plato. Kecenderungan akan kebenaran inilah yang berperan sebagai motor penggerak manusia untuk terus berburu pada bentuk nilai perjuangan baru, dan terus memperbarui sejarhnya.
Gagasan tentang kemajuan bertitik tolak dari konsepsi bahwa manusia pada dasarnya baik, suci, dan cinta pad kebenaran. Dalam lubuk hati mansuia, terdapat kerinduan pada kebenaran yang bentuk tertingginya adlah kerinduan kepada Tuhan. Inilah alam kodrati, atau fitrah manusia. Fitrah manusia—khususnya kebenaran—sejalan dengan idea of progress (gagasan tentang kemajuan), dan karenanya ia terbuka dari kebenaran mana saja. Dalam NDP usulan Cak Nur, kebenaran sering juga digunakan dalam bentuk Arabnya—hanif.

Mengapa NDP Cak Nur?

Mengapa Nilai-nilai Dasar Perjuangan Cak Nur? Bukankah sebaiknya judul yang digunakan mencantumkan NDP HMI? Kalaupun NDP awal, kenapa tidak mengikutsertakan Endang Syaifuddin Anshari dan Sakib Mahmud, yang juga direkomendasikan merumuskannya? Lagi pula memilih NDP Cak Nur sebagai fokus bahasan adalah bentuk pelembagaan nilai yang bahkan ditentang leh Cak Nur sendiri.
Tulisan ini dibuat bukan dengan mengabaikan semua interupsi di atas—khususnya yang ketiga. Pilihan NDP Cak Nur adalah karena sisi historis yang dimuat dalam tulisan in sebatas pada lahirnya ide NDP. Unsur-unsur sejarh dalam tulisan ini tidak sempat menulusuri konstalasi perubahan NDP—terasuk perubahannya menajdi NIK (Nilai Identitas Kader) yang kembali lagi lagi menajdi NDP --pada setiap kongres yang tentunya pekat dengan beragam kepentingan.
Sebelum ditetapkannya NDP sebagai tafsir perjuangan, organisasi HMI berjalan berdasarkan pemahaman subjektif para aktifisnya, yakni Islam Subjektif. NDP pertama kali ditetapkan sebagai tafsir dasar pada Kongres IX HMI 1969. Pembahasan monumental dalam kongres tersebut adalah penyempurnaan NDP yang diserahkan kepada 3 orang yaitu, Nurcholish Madjid, Endang Syaifuddin Anshari dan Sakib Mahmud.
Ide awal perumusan NDP oleh Cak Nur dan kawan-kawan, bermula dari sebuah buku kecil yang dibawa Larso, sekembalinya dari kunjungan ke Jerman Barat pada awal 1968, berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Democratic Party. Buku tersebut diperlihatkan kepada Dawam Raharjo, Djohan Efendi, ahmad Wahib dan tentu saja Nurcholish Madjid, yang kemudian di follow up pada diskusi limited group. Sementara Djoko Prasodjo merumuskan basic demands Indonesia, dan Larso membuat operasional umat Islam Indonesia, Cak Nur diserahi tugas merumuskan nilai-nilai dasar Islam. Tugas-tugas ini embrio lahirnya Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi ruh penggerak HMI.

Kritikan atas NDP Awal

Ketegaran DP awal mendampingi gerak sejarah tentunya tidak semau ditanggapi positif. Selalu saja ada beberapa orang yang melihat NDP sebagai seperangkat nilaiu yang kering dan begitu abstrak. NDP dipandang sebagai seperangkat naskah yang membawa paradigma filosofis Calvinian. Berisikan kerancuan ketika aspek filosofis dan sosiologis dihadapkan pada teologi, yang menyebabka ruang publik (rasionalisasi) tampak tidak berhubungan ruang privat (keimanan). Bahkan tidak sedikit konsepsi yang berparadigma Kristen sebagaimana dalam bab Ketuhanan dan Kemanusiaan, serta bab Individu masyarakat, serta keadilan sosial ekonomi.
Dalam menawarkan produk baru, sudah menadi tradisi manusia mencemooh barang—yang dianggap—lama. Terlepas dari kepentingan di balik kutukan dan usulan perombakan NDP, hal menarik yang perlu diperhatikan adalah ‘Argumen dasar’ keyakinan tersebut. Bagaimana pun juga, ia bisa saja berangkat dari niat baik pencarian kebenaran. Pilihan kata NDP awal termasuk bentuk penghomatan pada kriikus tersebut, yang dengan tepat menyatakan bahwa NDP bukan tunggal garapan Cak Nur. Namun demikian, lewat proses historis di atas Cak Nur menjadi perintis awalnya rumsan nilai-nilai dasar perjuangan Islam.

“Masalah Inegrasi Umat”: sebuah titik balik?

Dalam keyakinan penulisnya, NDP di buat pada Cak Nur muda periode 69 yang belum tentu benar, dan inilah yang sering orang lupakan. Fokus tanggapan kami bukan pada problem belum tentu benar, melainkan pada periodesasi yang dipatok penulisnya. Sebagaimana pendapat umum, ia tampak memrcayai bahwa ada perubahan besar pada diri Cak Nur yang ditandai periode 70-an. Tongak sejarah yang seringkali dijadikan titik balik perubahan sikap Cak Nur adalah paper yangberjudul “masalah Integrasi Umat dan Keperluan Pembaharuan Pemikiran Islam” pada 03 Januari 1970.
Memang benar bahw pemilikan pasti mengalami evolusi. Tapi betulkah periodesasi pra dan pasca 70-an adalah pemebeda yang jelas? Benarkah pada paper kontoversial yang Cak Nur presentasikan pada acara halal bi halal HMI-PII-Persami-GPI --memperlihatkan perubahan besar-besaran ide, atau hanya sebatas sikap Cak Nur yang sudah muak secara sembunyi-sembunyi mendakwahkan keyakinannya yang pada dasarnya tidak berubah?
Dalam penganar ‘Ensiklopedi Nucholish Madjid; Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban” Budhy Munawar Rachman mengutip tulisan Cak Nur:
“tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalm kehidupan pribadi saya. Itu karena pada awal tahun itulah saya melontarkan pemikiran tentang pembaharuan pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan. Sekalipun banyak unsur aksiden di dalamnya, unsur ketidaksengajaan, toh peristiwa itu saya rasakan amat besar pengaruhnya terhadap diri saya—sampai sekarang.
Pembaruan (dulu disebut “pembaharuan”) atau yang lebih umum lagi modernisasi, waktu itu sebenarnya bukanlah isu baru di tanah air. Tetapi memang isu itu selalu merupakan isu yang kontroversial. Dan pad tahun pertama dasa warsa 1970-an, isu itu mulai dibicarakan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Hal ini lebih terasa lagi di kalangan kaum muslimin.

Dalam kaitan hubungan antara NDP dan paper “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Cak Nur menjelaskan duduk perkaranya.

Dalam pandangan saya waktu itu, tamak jelas bahwa pesan di balik retorika modernisasi di atas adalah memperkecil peran agama—kalau bukan sikap anti agama atau seruan sekularisme. Bayangkan, Rosihan Anwar misalnya, waktu mengejek panggilan adzan yang menggunakan pengeras suara sebagai “teror-teror elekronik”. Inilah yang saya kritik. Saya menegaskan bahwa modernisasi adalah rasioalisasi, bukan penerapan sekularisme dan bukan pula pengagungan nilai-nilai kebudayaan Barat.
Posisi intelektual seperti inilah, yang antara lain diperkuat oleh risalah saya berjudul Nilai-nilai Dasar Perjuangan atau disingkat NDP, yang menajdikan saya memperoleh penrimaan luas di kalangan umat Islam. Waktu itu saya malah mendapat julukan “Natsir Muda”, merujuk ke Bapak Mohammad Natsir di partai politik Masyumi dulu. Saya sendiri tidak terlalu memperdulikan julukan seperti itu.
Tetapi semua in nggak karu-karuan setelah menyajikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, secara terus terang saya mengatakan bahwa kaum Muslimin Indonesia mengalami kemandegan dalam pemikiran mereka...

Nurcholish Before Nurcholish

Berbeda dengan pandangan umum, Greg Barton melihat perubahan pada Cak Nur—khususnya keterkaitan antara NDP dan “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat—bukan perubahan ide, melainkan perubahan sikap di mana Cak Nur telah muak pada kejumudan yang selama ini dia sembunyikan.
Barton meyakini bahwa Nilai-nilai Dasar Perjuangan Islam tahun 1969 mengandung gagasan dan konsepsi yang secara substansial radikal, tetapi NDP in berjalan tanpa persoalan macam-macam. Dalam Barton footnote Barton, Nurcholish secara terus terang menyatakan ‘menyelendupkan’ ide-radiklanya dalam NDP. Senada dengan Barton, dalam pengantar Rahman Cak Nur mengakui:

Sekalipun beragam, reaksi-reaksi itu didasarkan atas satu asumsi yang sebetulnya kurang lebih sama, yaitu bahwa saya sudah berubah, bahwa Nurcholish sudah berubah. Demikian, beberapa kalangan kemudian berbicara mengenai “Nurcholis before Nurcholish dan yang sejenis itu. Jadi ada Nurcholish yang sebelum penulisan itu, dan ada Nurcholish sesudahnya. Terus terang, saya merasa aneh dengan penilaian itu—sampai sekarang. Sebab, saya sendiri merasa bahwa tidak ada yangberubah dalam pemikiran saya sebelum dan sesudahnya penulisan makalah itu. Bagaimana saya berubah, wong makalah itu say tulis hanya beberapa bulan sesudah saya menulis NDP. Benar, hanya beberapa bulan! Dan kalau diamai secara hati-hati dan mendalam, akan tampak jelas kejelasan isi kedua tulisan itu. Tesis-tesis utama saya dalam makalah tahun 1970 itu didasarkan atas pemahaman saya menganai dua prinsip dasar islam, yaitu konsep mengenai al-tawhid (keesahan Tuhan) dan gagasan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi (khlaifah Allah fi al-ardl).
Dari kedua prinsip, saya kemudian merumuskan premis teologis yang menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi dan kebenaran mutlak. Dan sebagai konsekuensi dari penerimaan mereka terhadap prinsip monoteisik ini, sudah seharusnya kaum Muslimin memandang dunia ini dan masalah-masalah keduniaan yang temporal seperti apa adanya. Artinya, tidak usah disyakralkan. Karena memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara yang sakral atau transendental dapat dianggap bertentangan dengan inti paham monoteisme Islam.
Hanya saja, dan ini memang harus saya akui, berbeda dari tulisan-tulisan saya yang sebelumnya, yang misalnya, banyak diwarnai oleh kutipan ayat-ayat al-Quran dalam makalah pembaruan itu saya justru menggunakan konsep-konsep yang sangat kontroversial.

Al-Quran Berwawasan Inklusif

Sangat menyedihkan ketika mengkritik NDP dengan menyatakan ia diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan kemabli dimensi naskah tersebut. Ada masalah apa dengan al-Quran? Apakah al-Quran begitu ekslusif sehingga agak mengerikan?
Al-Quran pada dirinya sendiri semakin banyak diyakini tidak berwawasan ekslusif. Dengan jelas, Cak Nur meyakini wawasan al-Quran benar-benar bersemangat inklusif, tidak ekslusif. Al-Quran di berbagai tempat dengan tegas menyatakan hal itu, seperti firman Allah: Seseungguhnya orang mukmin, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih. (QS. 2:62)
Maka dengan visi al-Quran yang serba inklusif ini kaum Muslimin, dan para agamawan lain, sebenarnya ditantang untuk menemukan dan mengembangkan lebih lanjut titik-titik persamaan antara ajaran berbagai agama, sebab hal serupa itulah yang sekarang ini paling diperlukan, baik secara nasional, dalam negeri sendiri, maupun secara global, meliputi seluruh umat manusia.
Mengkaitkan ide tersebut dengan pemabahasan tentang al-Islam—ajaran kepasrahan hanya kepada Tuhan—sebagai suatu universalisme untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip yang mendasari kemungkinan diadakannya suatu tali kesinambungan agama Ibrahimiyah ini, adalah juga sangat penting. Karena premisnya ialah bahwa Tuhan membangkitkan pengajar dan penganut kebenaran (Nabi, Rasul) kepada semua umat manusia tanpa kecuali, dan bahwa inti ajaran mereka semuanya adalah sama dan satu, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan—al-Islam (sikap pasrah) dalam makna generiknya. Maka dialog antar agama menyangkut pokok-pokok keimanan—yang sekarang dikenal dengan istilah “dialog teologis”—adalah suatu yang tidak saja mungkin, tetapi diperlukan, jika bukan diharuskan.

Fitrah Hanif Manusia

Salah satu bagian menarik dalam entry “Al-Quran Berwawasan Insklusif” tersebut adalah ketika menyinggung agama yang hanif. Cak Nur menjelaskan:
Inilah maknanya mengapa Al-Quran terdapat berbagai seruan, langsung atau tidak langsung, kepad Nabi Muhammad saw—dan melalui beliau kepad seluruh umat mansia—untuk menangkap millat Ibrahim yang hanif dn muslim itu. Yaitu suatu ajaran mencari dan berpegankepada kebenaran secara tulus dan lapang (samhah), yang all inclusive dengan memberi tempat dan pengakuan kepada agama, semua kitab suci, dan semua nabi dan rasul. Semangat keseluruhan agama Muhammad saw, adalah ke-hanifan-an yang lapang ini yang diajarkan Nabi dalam berbagai saluran dan cara.
Islam adalah sebuah agama terbuka yang mendorong umatnya untuk bersikap ke-hanifan¬¬-an yang samhah, bersemangat mencari kebenaran yang lapang: sebuah cara beragama yang semakin diperlukan, berlawanan dengan cara beragama yang fanatik dan tertutup.

Sebagaimana pendahuluan di atas, telah digambarkan bahwa fitrah kecenderungan manusia pada kebenaran menajdikan manusia bersifat inklusif pada kebenaran dari mana pun. Kecintaan akan kebenaranmendorong manusia mengorbankan nilai-nilai kepercayaan mereka telah melembaga dalam sebuah tradisi sebagaimana dalam bab pertama NDP—Dasar Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dipertegas dalam konsep “Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan” yang termuat dalam bab dua. Yang keduanya—Dasar Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan—dikritik berparadigma Kristen.
Hanif inilah yang menjadi alam kodrati manusia, atau lebih akrab dengan sebutan fitrah manusia. Fitrah manusia sekali lagi sejalan dengan idea of progress (gagasan tentang kemajuan), dan karenanya ia senantiasa bersifat terbuka bagi kebenran dari mana saja. Sangat membingungkan ketika usulan perombakan kalau ‘argumen dasar’nya ada pola pikir yang berubah, yang dalam hal ini tentu saja Nurcholish Madjid. Ketimbnag turning point pemikiran. Perubahan sikap Cak Nur sebelum sesuadah 1970 lebih pada ketegasan dakwah keyakinannya.

Penutup

Dari keseluruhan diatas, fokus tulisan ini sebatas penegasan bahwa NDP tawaran Cak Nur masih sangat relevan sebagai pedoman kader serta semangat perubahan sejarah manusia. Dengan demikian, usulan perubahan tema NDP yang kurang prinsipil, apalagi sampai perombakan NDP habis-habisan—tanpa pretensi mengultuskan NDP Cak Nur—tidak perlu lagi menyita waktu di setiap Kongres HMI. Apalagi sampai berakibat pada insiden pemukulan sesama kader HMI.
Kesemua ini hanya akan melahirkan kekaburan sejarah HMI. Perubahan NDP yang menjadi NIK yang kemudian kembali pada NDP misalnya, tidak saja abstrak bagi kaum awam, melainkan juga sebagian akademisi non-HMI. Dan masih akan sangat banyak perubahan-perubahan yang lagi-lagi kurang substansial dalam sejarah agung HMI.
Sekali lagi, ketimbang menjadikan NDP Cak Nur sebagai sebuah nilai tradisi penghambat peradaban, tulisan ini berniat menunjukkan pesona inklusif naskah perjuangan yang Cak Nur usulkan—jika memang itu masalahnya—sebelum akhirnya terlupakan dan berakhir tragis di tong sampah.



Referensi

Agusssalim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa (Jakarta: Logos, 2002)
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Khazanah Populer Paramadina, 2004)
T.M. Dhani Iqbal, Sabda dari Persemayaman (Jakarta: Grasindo, 2003)
Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000)
Charles Kurzman, Islam liberal di Indonesia; Pemikiran Islam Kontemporer tentang su-Isu Global, Terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001)
Victor Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam; Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 19991)
Masykur Hakim, Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI (Jakarta: al-Ghozaly, 2001)
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 2001)
Menggugat HMI: Mengembalikan Tradisi Intelektual (Tangerang: HMI Ciputat Press, 2005)
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Semarang, Toha Putra, 1996)
Nurcholish Madjid, “Al-Quran Berwawasan Inklusif” Ensiklopedi Cak Nur (Jakarta: Paramadina)
PB HMI, Draft Kongres XXV Himpunan Mahasiswa (2006)
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamenatalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006)

Jumat, 14 Agustus 2009

SAJAK-SAJAK PENCINTA

24 Desember 2006

Tentang Kesetiaan…
Aku akan pulang membawa dada dalam keresek dan mengecup bau rumah yang gelisah.
Aku juga rindu ruang remang itu, sebab mencintaimu dengan nyanyi dan kembang api telah ditempuh semua orang.
Tak ada anak yang harus aku suapi atau snack yang kadaluarsa.
Kebisuan menghambur begitu saja menjadi selimut yang lebih dingin dari puisi.
Dan kau tak selalu kuat menahan gigilnya..
Aku akan pulang…
Membiarkan kau geledah bungkusan dan mengharap ketenangan didalamnya.
Sementara diluar sana, orang-orang terjebak petasan..


25 Desember 2006

Tentang Kerinduan…
Aku pasti menjumpaimu dalam kedap malam nan pekat
Membawa kerincing pigura hijau dikerling mata terpampang senyum..
Dan aku mencintaimu dalam nada menari menimba kidung
Tak ada dinding yang harus ku cat
Tak ada jua jendela yang harus ku ketuk dan buka..
Dan kau…datang merengkuh mengulum senyum, melumat bibir, simpangkan jari di pintu api
Aku akan menjumpaimu, barangkali dikening dahi. Lalu biarkan orang bersorak tak acap, acap saat…


15 Januari 2007

Bagaimana kalau begini saja tuhan…
Kupinta dia untukku setiap saat, dan jika kau beri…….
Maka kau menjadi jaminan bahwa dia akan menjadi pendampingku menuju Mu.
Sebab ku yakin kaupun tak rela jika ku menyimpang dari Mu…
Kau nampak begitu cantik bagi ku, anggaplah aku mencintai makhlukmu karena Kau, dan hanya karena Engkau!
Bila Kau tak rela,,maka jangan kau berikan…
Aku untukmu saja…


18 Januari 2007

Sejak saat kamu pernah menggores hatiku..
Sejak saat kamu pernah buat aku cemburu…
Sejak saat aku sering tidak atau salah memahami kamu..
Aku masih meyakinimu bahwa kmau orang baik yang kupilih..
Aku masih memilihmu seperti yakinku akan baikmu
Terima kasih atas sayangmu, akan aku jaga, akan aku rawat,,
Sebab, jika aku harus jujur, kau nyaris menjadi NADIKU !!


23 Januari 2007

Demi cinta yang menyatukan jiwamu dengan yang engkau kasihi..
Aku mengasihimu karena kebenaranmu yang diturunkan dari pengetahuanmu.
Kebenaran yang tidak dapat kulihat karena ketidaktahuanku..
Namun, aku menghargainya sebagai hal yang fitrah
Kebenaranmu akan berjumpa dengan kebenaranku dikehidupan, seperti semerbak bunga-bunga menjadi satu kebenaran utuh yang kekal.
Hidup selamanya dalam kekekalan cinta dan keindahan.


10 Juli 2007 00:03

Dalam sinar, ada belai lembut menyapa anugerah. Meresap kesetiap seluk sandi mungkin sedang berirama.
Dalam sinar, ada helai sayang mengumbai lambai terai resap mengembara santai.
Dalam sinar, peluk hangat berirama berganti ganti saling sisik di pagi, dilesah siang, diredap malam.
Dalam sinar, berganti ganti puja alem. Dikutipnya peluh kesah kesederhanaan.
Dalam sinar, ada senandung biru. Relung bijak, bait sajak, tetap benak, mengenangmu adalah hal terindah.


16 Juli 2007 00:13

Terdengarlah kabar bulu cendrawasih tersisih dari kumparan ringai riasnya.
Karena terbang diesok hari berpijak batu.
Seakan lusa adalah duplikat kemarin, maka ia pun bersenda dengan angin tanpa risau.
Pikirnya ini sepoi, tenang dan halus. Ia bagai sedang dibelai, dikasih, disayang dan dicinta ditambah pula dengan tabuh semak.
Menambah irama dan tentu saja aroma karena semak itu adalah melati.
Nampak semayu bulu terjatuh. Kenapa tersenyum? Bulu itu bukan limpahan pualam. Ia senyum, senyumnya sendiri.


19 Juli 2007 03:08

Kukemas dirimu seperti lembayung sauh. Kidung ranai hati putih.
Oh, bila malam tak terlalu larut ku kibas mata seperti saat picik jentik mengibu.
Tapi dirimu ingin kutulis seperti melati halamanku, lebat harum penuh madu.


22 Juli 2007 04:28

Dalam tersesap benak kasidah dipenghujung dengar dan ucap. Dihening kutipan nada teriring salam cayo.
Dalam kelemahan batin dan raga, tengadah tangan meminta.
Pabilakah kekasih tersenyum kembali ?
Dalam butir sendu bertalu embun, mungkin pula beriring melati mekar dihalaman, kenapa terberi sakit pada kekasih yang ingin selalu menjaga.
Dalam gelisik fajar, kepala tertunduk, sudahkan, sudahkanlah tuk menyakiti seperti sakitnya.
Sudahkamlah, kenapa tak beri pula raga. Biarkan ia bahagia dengan orang-orang yang telah lebih dulu mengenalnya orang baik.
Seperti saat harmoni mentari dan pagi tiba, berilah kekasih hikmahnya.
Semoga cepat sembuh, aku pasti berdo’a untukmu.


12 Januari 2008 03:14

Suatu ketika, kalbu memandu raga pada perjumpaan diklimak ufuk persandian.
Alangkah indah menawan rupa yang ayu sayu temaram. Teduh. Bilakah sua dalam terang…


23 Januari 2008 01:43

Ditaman ini, mengingatmu adalah keindahan.
Bentang cakrawala. Langit emas mengurung semilir ruang rasa dan kemurnian. Tulus. Seadanya…..


20 Januari 2008 11:26

Angin suci memanggil kecil di bibir pintu.
Padamu yang berceloteh suara. Dititik-titik kanvas kuning.
Lukisan masa depan..


23 Agustus 2007 22:31

Untuk temaram malam yang tiada terbendung.
Untuk sentak larut yang mungkin sebentar lagi menghanyut.
Untuk sekian detik yang telah terlalui dan kurasa sempurna.


24 Agustus 2007 22:23

Bagaimana aku memanjamu? Apa seperti ilalang di kemarau panjang, renyah gemerisik saat sepoi tiba tapi hangus terbakar saat api mencela.
Apa seperti sabana penanti, tidak peduli musafir mana yang datang.
Asal besi pada tongkat terjejak, maka ia adalah sahabat yang mencandu. Kerinduan datang karena dirinya sunyi.
Apa seperti ringik kuda yang membelai, padahal tiada rasa. Baginya ringikan akan jadikan dirinya terharap.
Mungkin lebih baik seperti batu, memberi lumut kehidupan padahal menjadikannya lapuk.
Tapi, kau katakan saja kau bahagia, maka aku akan tertawa.


28 Agustus 2007 18:40

Ia menari, tidak pernah kulihat sebelum ini.
Ia bernyanyi, pernah kudengar tapi suaranya tidak pernah semerdu itu.
Hey, sejak kapan ia suka berjingkrak-jingkrak?
Matanya masih tajam semangat seperti dulu. Badanya tak pernah layu selalu membahu. Jarang ia tersenyum seperti sekarang.
Kapan ia berleha-leha begitu? Oh, rupanya sudah tuntas tugasnya. Sudah tunai amanahnya. Sudah Kabul cita-citanya. Sudah hilang sedihnya. Sudah tutup catatannya. Sudah laksana tekadnya. Sudah bertemu cintanya dikampung halamannya.
Hmm,,pantas saja, ia telah ketemu maunya, bertemu Tuhannya.
Selamat bahagia, bapak…..