Pendahuluan
Dalam perjalanan hidup menuju peradaban dan kebudayaan yang lebih baik, manusia memerlukan kepercayaan yang nantinya tata nilai. Sayangnya, tidak sedikit nilai yang kemudian mengkristal dan membentuk tradisi yang memiliki kecenderungan mempertahankan nilai yang telah ada secara turun-temurun. Konsekuensinya, alih-alih sebagai pendorong peradaban dan kebudayaan an sich, nilai-nilai yang mentradisi justru menjadi penghambat.
Nilai yang dianut kemudian berada dalam posisi dilematis. Ia bersifat produktif sekaligus kontraproduktif dalam roda gila sejarah yang terus berputar. Untuk itu, terkadang kita harus mengorbankan kepercayaan—sebagai dasar pembentuk nilai—dan tetap tetap patuh pada ‘kebenaran’, yang tidak lain adalah Tuhan. Tuhan merupakan kebenaran hakiki karena dalam proses perjalanan sejarah hanya ia yang tidak berubah, ia adalah awal mula dan akhir segala tujuan.
Kurang lebih demikian simalakama ‘kepercayaan’ di mata Nurcholish Madjid (selanjutnya akan disebut Cak Nur) dalam merumuskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (selanjutnya disingkat NDP) Himpunan Mahasiswa Islam. Cinta kebenaran yang harus mengorbankan cinta pad kepercayaan dan tata nilai di atas, mengingatkan kita pada sang filsuf klasik Aristoteles dan gurunya Plato. Kecenderungan akan kebenaran inilah yang berperan sebagai motor penggerak manusia untuk terus berburu pada bentuk nilai perjuangan baru, dan terus memperbarui sejarhnya.
Gagasan tentang kemajuan bertitik tolak dari konsepsi bahwa manusia pada dasarnya baik, suci, dan cinta pad kebenaran. Dalam lubuk hati mansuia, terdapat kerinduan pada kebenaran yang bentuk tertingginya adlah kerinduan kepada Tuhan. Inilah alam kodrati, atau fitrah manusia. Fitrah manusia—khususnya kebenaran—sejalan dengan idea of progress (gagasan tentang kemajuan), dan karenanya ia terbuka dari kebenaran mana saja. Dalam NDP usulan Cak Nur, kebenaran sering juga digunakan dalam bentuk Arabnya—hanif.
Mengapa NDP Cak Nur?
Mengapa Nilai-nilai Dasar Perjuangan Cak Nur? Bukankah sebaiknya judul yang digunakan mencantumkan NDP HMI? Kalaupun NDP awal, kenapa tidak mengikutsertakan Endang Syaifuddin Anshari dan Sakib Mahmud, yang juga direkomendasikan merumuskannya? Lagi pula memilih NDP Cak Nur sebagai fokus bahasan adalah bentuk pelembagaan nilai yang bahkan ditentang leh Cak Nur sendiri.
Tulisan ini dibuat bukan dengan mengabaikan semua interupsi di atas—khususnya yang ketiga. Pilihan NDP Cak Nur adalah karena sisi historis yang dimuat dalam tulisan in sebatas pada lahirnya ide NDP. Unsur-unsur sejarh dalam tulisan ini tidak sempat menulusuri konstalasi perubahan NDP—terasuk perubahannya menajdi NIK (Nilai Identitas Kader) yang kembali lagi lagi menajdi NDP --pada setiap kongres yang tentunya pekat dengan beragam kepentingan.
Sebelum ditetapkannya NDP sebagai tafsir perjuangan, organisasi HMI berjalan berdasarkan pemahaman subjektif para aktifisnya, yakni Islam Subjektif. NDP pertama kali ditetapkan sebagai tafsir dasar pada Kongres IX HMI 1969. Pembahasan monumental dalam kongres tersebut adalah penyempurnaan NDP yang diserahkan kepada 3 orang yaitu, Nurcholish Madjid, Endang Syaifuddin Anshari dan Sakib Mahmud.
Ide awal perumusan NDP oleh Cak Nur dan kawan-kawan, bermula dari sebuah buku kecil yang dibawa Larso, sekembalinya dari kunjungan ke Jerman Barat pada awal 1968, berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Democratic Party. Buku tersebut diperlihatkan kepada Dawam Raharjo, Djohan Efendi, ahmad Wahib dan tentu saja Nurcholish Madjid, yang kemudian di follow up pada diskusi limited group. Sementara Djoko Prasodjo merumuskan basic demands Indonesia, dan Larso membuat operasional umat Islam Indonesia, Cak Nur diserahi tugas merumuskan nilai-nilai dasar Islam. Tugas-tugas ini embrio lahirnya Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi ruh penggerak HMI.
Kritikan atas NDP Awal
Ketegaran DP awal mendampingi gerak sejarah tentunya tidak semau ditanggapi positif. Selalu saja ada beberapa orang yang melihat NDP sebagai seperangkat nilaiu yang kering dan begitu abstrak. NDP dipandang sebagai seperangkat naskah yang membawa paradigma filosofis Calvinian. Berisikan kerancuan ketika aspek filosofis dan sosiologis dihadapkan pada teologi, yang menyebabka ruang publik (rasionalisasi) tampak tidak berhubungan ruang privat (keimanan). Bahkan tidak sedikit konsepsi yang berparadigma Kristen sebagaimana dalam bab Ketuhanan dan Kemanusiaan, serta bab Individu masyarakat, serta keadilan sosial ekonomi.
Dalam menawarkan produk baru, sudah menadi tradisi manusia mencemooh barang—yang dianggap—lama. Terlepas dari kepentingan di balik kutukan dan usulan perombakan NDP, hal menarik yang perlu diperhatikan adalah ‘Argumen dasar’ keyakinan tersebut. Bagaimana pun juga, ia bisa saja berangkat dari niat baik pencarian kebenaran. Pilihan kata NDP awal termasuk bentuk penghomatan pada kriikus tersebut, yang dengan tepat menyatakan bahwa NDP bukan tunggal garapan Cak Nur. Namun demikian, lewat proses historis di atas Cak Nur menjadi perintis awalnya rumsan nilai-nilai dasar perjuangan Islam.
“Masalah Inegrasi Umat”: sebuah titik balik?
Dalam keyakinan penulisnya, NDP di buat pada Cak Nur muda periode 69 yang belum tentu benar, dan inilah yang sering orang lupakan. Fokus tanggapan kami bukan pada problem belum tentu benar, melainkan pada periodesasi yang dipatok penulisnya. Sebagaimana pendapat umum, ia tampak memrcayai bahwa ada perubahan besar pada diri Cak Nur yang ditandai periode 70-an. Tongak sejarah yang seringkali dijadikan titik balik perubahan sikap Cak Nur adalah paper yangberjudul “masalah Integrasi Umat dan Keperluan Pembaharuan Pemikiran Islam” pada 03 Januari 1970.
Memang benar bahw pemilikan pasti mengalami evolusi. Tapi betulkah periodesasi pra dan pasca 70-an adalah pemebeda yang jelas? Benarkah pada paper kontoversial yang Cak Nur presentasikan pada acara halal bi halal HMI-PII-Persami-GPI --memperlihatkan perubahan besar-besaran ide, atau hanya sebatas sikap Cak Nur yang sudah muak secara sembunyi-sembunyi mendakwahkan keyakinannya yang pada dasarnya tidak berubah?
Dalam penganar ‘Ensiklopedi Nucholish Madjid; Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban” Budhy Munawar Rachman mengutip tulisan Cak Nur:
“tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalm kehidupan pribadi saya. Itu karena pada awal tahun itulah saya melontarkan pemikiran tentang pembaharuan pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan. Sekalipun banyak unsur aksiden di dalamnya, unsur ketidaksengajaan, toh peristiwa itu saya rasakan amat besar pengaruhnya terhadap diri saya—sampai sekarang.
Pembaruan (dulu disebut “pembaharuan”) atau yang lebih umum lagi modernisasi, waktu itu sebenarnya bukanlah isu baru di tanah air. Tetapi memang isu itu selalu merupakan isu yang kontroversial. Dan pad tahun pertama dasa warsa 1970-an, isu itu mulai dibicarakan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Hal ini lebih terasa lagi di kalangan kaum muslimin.
Dalam kaitan hubungan antara NDP dan paper “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Cak Nur menjelaskan duduk perkaranya.
Dalam pandangan saya waktu itu, tamak jelas bahwa pesan di balik retorika modernisasi di atas adalah memperkecil peran agama—kalau bukan sikap anti agama atau seruan sekularisme. Bayangkan, Rosihan Anwar misalnya, waktu mengejek panggilan adzan yang menggunakan pengeras suara sebagai “teror-teror elekronik”. Inilah yang saya kritik. Saya menegaskan bahwa modernisasi adalah rasioalisasi, bukan penerapan sekularisme dan bukan pula pengagungan nilai-nilai kebudayaan Barat.
Posisi intelektual seperti inilah, yang antara lain diperkuat oleh risalah saya berjudul Nilai-nilai Dasar Perjuangan atau disingkat NDP, yang menajdikan saya memperoleh penrimaan luas di kalangan umat Islam. Waktu itu saya malah mendapat julukan “Natsir Muda”, merujuk ke Bapak Mohammad Natsir di partai politik Masyumi dulu. Saya sendiri tidak terlalu memperdulikan julukan seperti itu.
Tetapi semua in nggak karu-karuan setelah menyajikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970. Dalam makalah itu, secara terus terang saya mengatakan bahwa kaum Muslimin Indonesia mengalami kemandegan dalam pemikiran mereka...
Nurcholish Before Nurcholish
Berbeda dengan pandangan umum, Greg Barton melihat perubahan pada Cak Nur—khususnya keterkaitan antara NDP dan “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat—bukan perubahan ide, melainkan perubahan sikap di mana Cak Nur telah muak pada kejumudan yang selama ini dia sembunyikan.
Barton meyakini bahwa Nilai-nilai Dasar Perjuangan Islam tahun 1969 mengandung gagasan dan konsepsi yang secara substansial radikal, tetapi NDP in berjalan tanpa persoalan macam-macam. Dalam Barton footnote Barton, Nurcholish secara terus terang menyatakan ‘menyelendupkan’ ide-radiklanya dalam NDP. Senada dengan Barton, dalam pengantar Rahman Cak Nur mengakui:
Sekalipun beragam, reaksi-reaksi itu didasarkan atas satu asumsi yang sebetulnya kurang lebih sama, yaitu bahwa saya sudah berubah, bahwa Nurcholish sudah berubah. Demikian, beberapa kalangan kemudian berbicara mengenai “Nurcholis before Nurcholish dan yang sejenis itu. Jadi ada Nurcholish yang sebelum penulisan itu, dan ada Nurcholish sesudahnya. Terus terang, saya merasa aneh dengan penilaian itu—sampai sekarang. Sebab, saya sendiri merasa bahwa tidak ada yangberubah dalam pemikiran saya sebelum dan sesudahnya penulisan makalah itu. Bagaimana saya berubah, wong makalah itu say tulis hanya beberapa bulan sesudah saya menulis NDP. Benar, hanya beberapa bulan! Dan kalau diamai secara hati-hati dan mendalam, akan tampak jelas kejelasan isi kedua tulisan itu. Tesis-tesis utama saya dalam makalah tahun 1970 itu didasarkan atas pemahaman saya menganai dua prinsip dasar islam, yaitu konsep mengenai al-tawhid (keesahan Tuhan) dan gagasan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi (khlaifah Allah fi al-ardl).
Dari kedua prinsip, saya kemudian merumuskan premis teologis yang menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi dan kebenaran mutlak. Dan sebagai konsekuensi dari penerimaan mereka terhadap prinsip monoteisik ini, sudah seharusnya kaum Muslimin memandang dunia ini dan masalah-masalah keduniaan yang temporal seperti apa adanya. Artinya, tidak usah disyakralkan. Karena memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara yang sakral atau transendental dapat dianggap bertentangan dengan inti paham monoteisme Islam.
Hanya saja, dan ini memang harus saya akui, berbeda dari tulisan-tulisan saya yang sebelumnya, yang misalnya, banyak diwarnai oleh kutipan ayat-ayat al-Quran dalam makalah pembaruan itu saya justru menggunakan konsep-konsep yang sangat kontroversial.
Al-Quran Berwawasan Inklusif
Sangat menyedihkan ketika mengkritik NDP dengan menyatakan ia diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan kemabli dimensi naskah tersebut. Ada masalah apa dengan al-Quran? Apakah al-Quran begitu ekslusif sehingga agak mengerikan?
Al-Quran pada dirinya sendiri semakin banyak diyakini tidak berwawasan ekslusif. Dengan jelas, Cak Nur meyakini wawasan al-Quran benar-benar bersemangat inklusif, tidak ekslusif. Al-Quran di berbagai tempat dengan tegas menyatakan hal itu, seperti firman Allah: Seseungguhnya orang mukmin, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih. (QS. 2:62)
Maka dengan visi al-Quran yang serba inklusif ini kaum Muslimin, dan para agamawan lain, sebenarnya ditantang untuk menemukan dan mengembangkan lebih lanjut titik-titik persamaan antara ajaran berbagai agama, sebab hal serupa itulah yang sekarang ini paling diperlukan, baik secara nasional, dalam negeri sendiri, maupun secara global, meliputi seluruh umat manusia.
Mengkaitkan ide tersebut dengan pemabahasan tentang al-Islam—ajaran kepasrahan hanya kepada Tuhan—sebagai suatu universalisme untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip yang mendasari kemungkinan diadakannya suatu tali kesinambungan agama Ibrahimiyah ini, adalah juga sangat penting. Karena premisnya ialah bahwa Tuhan membangkitkan pengajar dan penganut kebenaran (Nabi, Rasul) kepada semua umat manusia tanpa kecuali, dan bahwa inti ajaran mereka semuanya adalah sama dan satu, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan—al-Islam (sikap pasrah) dalam makna generiknya. Maka dialog antar agama menyangkut pokok-pokok keimanan—yang sekarang dikenal dengan istilah “dialog teologis”—adalah suatu yang tidak saja mungkin, tetapi diperlukan, jika bukan diharuskan.
Fitrah Hanif Manusia
Salah satu bagian menarik dalam entry “Al-Quran Berwawasan Insklusif” tersebut adalah ketika menyinggung agama yang hanif. Cak Nur menjelaskan:
Inilah maknanya mengapa Al-Quran terdapat berbagai seruan, langsung atau tidak langsung, kepad Nabi Muhammad saw—dan melalui beliau kepad seluruh umat mansia—untuk menangkap millat Ibrahim yang hanif dn muslim itu. Yaitu suatu ajaran mencari dan berpegankepada kebenaran secara tulus dan lapang (samhah), yang all inclusive dengan memberi tempat dan pengakuan kepada agama, semua kitab suci, dan semua nabi dan rasul. Semangat keseluruhan agama Muhammad saw, adalah ke-hanifan-an yang lapang ini yang diajarkan Nabi dalam berbagai saluran dan cara.
Islam adalah sebuah agama terbuka yang mendorong umatnya untuk bersikap ke-hanifan¬¬-an yang samhah, bersemangat mencari kebenaran yang lapang: sebuah cara beragama yang semakin diperlukan, berlawanan dengan cara beragama yang fanatik dan tertutup.
Sebagaimana pendahuluan di atas, telah digambarkan bahwa fitrah kecenderungan manusia pada kebenaran menajdikan manusia bersifat inklusif pada kebenaran dari mana pun. Kecintaan akan kebenaranmendorong manusia mengorbankan nilai-nilai kepercayaan mereka telah melembaga dalam sebuah tradisi sebagaimana dalam bab pertama NDP—Dasar Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dipertegas dalam konsep “Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan” yang termuat dalam bab dua. Yang keduanya—Dasar Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan—dikritik berparadigma Kristen.
Hanif inilah yang menjadi alam kodrati manusia, atau lebih akrab dengan sebutan fitrah manusia. Fitrah manusia sekali lagi sejalan dengan idea of progress (gagasan tentang kemajuan), dan karenanya ia senantiasa bersifat terbuka bagi kebenran dari mana saja. Sangat membingungkan ketika usulan perombakan kalau ‘argumen dasar’nya ada pola pikir yang berubah, yang dalam hal ini tentu saja Nurcholish Madjid. Ketimbnag turning point pemikiran. Perubahan sikap Cak Nur sebelum sesuadah 1970 lebih pada ketegasan dakwah keyakinannya.
Penutup
Dari keseluruhan diatas, fokus tulisan ini sebatas penegasan bahwa NDP tawaran Cak Nur masih sangat relevan sebagai pedoman kader serta semangat perubahan sejarah manusia. Dengan demikian, usulan perubahan tema NDP yang kurang prinsipil, apalagi sampai perombakan NDP habis-habisan—tanpa pretensi mengultuskan NDP Cak Nur—tidak perlu lagi menyita waktu di setiap Kongres HMI. Apalagi sampai berakibat pada insiden pemukulan sesama kader HMI.
Kesemua ini hanya akan melahirkan kekaburan sejarah HMI. Perubahan NDP yang menjadi NIK yang kemudian kembali pada NDP misalnya, tidak saja abstrak bagi kaum awam, melainkan juga sebagian akademisi non-HMI. Dan masih akan sangat banyak perubahan-perubahan yang lagi-lagi kurang substansial dalam sejarah agung HMI.
Sekali lagi, ketimbang menjadikan NDP Cak Nur sebagai sebuah nilai tradisi penghambat peradaban, tulisan ini berniat menunjukkan pesona inklusif naskah perjuangan yang Cak Nur usulkan—jika memang itu masalahnya—sebelum akhirnya terlupakan dan berakhir tragis di tong sampah.
Referensi
Agusssalim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa (Jakarta: Logos, 2002)
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Khazanah Populer Paramadina, 2004)
T.M. Dhani Iqbal, Sabda dari Persemayaman (Jakarta: Grasindo, 2003)
Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000)
Charles Kurzman, Islam liberal di Indonesia; Pemikiran Islam Kontemporer tentang su-Isu Global, Terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001)
Victor Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam; Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 19991)
Masykur Hakim, Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI (Jakarta: al-Ghozaly, 2001)
Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 2001)
Menggugat HMI: Mengembalikan Tradisi Intelektual (Tangerang: HMI Ciputat Press, 2005)
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Semarang, Toha Putra, 1996)
Nurcholish Madjid, “Al-Quran Berwawasan Inklusif” Ensiklopedi Cak Nur (Jakarta: Paramadina)
PB HMI, Draft Kongres XXV Himpunan Mahasiswa (2006)
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamenatalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006)